Mengenal Kiai Keramat Pendiri NU dari Kota Kudus

Mengenal Kiai Keramat Pendiri NU dari Kota Kudus
Tidak hanya dikenal gigih memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, Kiai Haji Raden Asnawi Kudus juga dikenang sebagai pelopor berdirinya Nahdlatul Ulama (NU). Tidak sedikit prajurit dari pasukan lasykar kemerdekaan sowan ke Kudus, meminta doa kepadanya sebelum berangkat ke medan perang melawan penjajah.

Zaman kuno, Kudus merupakan daerah tepi Sungai Gelis, salah satu wilayah yang masuk Pulau Muria. Awalnya, Kudus bernama Tajug, karena terdapat banyak Tajug. Tajug adalah nama untuk atap arsitektur tradisional kuno dipakai tujuan ibadah/keramat, seperti tempat sembahyang umat Hindu.

Setelah Sinuhun Kanjeng Sunan Kudus (Sayyid Ja’far Shodiq) datang, Tajug kemudian dikenal dengan nama Al-Quds yang bermakna Kudus (suci). Selain pertanian dan produksi batu bata, Sunan Kudus membangun kota Kudus menjadi kota perdagangan yang punya pelabuhan transit ke pelabuhan Tanjung Karang Selat Muria.

Kudus kemudian dikenal dengan dua sebutan khas, pertama sebagai Kota Kretek karena banyak berdiri pabrik rokok terbesar di Indonesia, juga dikenal sebagai Kota Santri yang merupakan salah satu pusat perkembangan Islam abad pertengahan. Tiga Wali yang terkenal adalah, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Kedu.

Komplek pemakaman Sunan Kudus di belakang Masjid Al Aqsha, menjadi tempat peristirahatan tokoh-tokoh yang berjasa atas penyebaran Islam dan kemerdekaan Indonesia. Salah satu yang dimakamkan di sana adalah Kiai Raden Asnawi. Ulama keturunan ke-14 Sunan Kudus dan generasi ke-5 dari KH. Mutamakin, seorang waliyullah keramat desa Kajen Margoyoso Pati.

Santri dan Pergantian Nama

Raden Asnawi lahir pada hari Jum’at Pon tahun 1861 M (1281 H) di daerah Damaran dengan nama Raden Ahmad Syamsyi. Putra dari pasangan H. Abdullah Husnin dan Raden Sarbinah. Setelah dirasa cukup mengaji di rumah, usia 15 tahun beliau nyantri di pondok pesantren Mangunsari Tulungagung, kemudian pindah ngaji ke KH. Irsyad Naib Mayong Jepara.

Usia 25 tahun, beliau menunaikan ibadah haji. Sepulangnya dari Mekah, nama Raden Ahmad Syamsi diganti dengan Raden Haji Ilyas. Kemudian, setelah naik haji yang ketiga kalinya, nama Ilyas diganti lagi dengan Raden Haji Asnawi. Nama terakhir inilah yang terkenal.

Berjalan Kaki 18 km untuk Mengajar

Setelah dari Mekah, Raden Asnawi mulai menyebarkan Islam dengan mengajar dari satu tempat ke tempat lain. Salah satu tempat majelis ilmu beliau adalah Masjid Muria (Masjid Sunan Muria), setiap hari Jum’at Pahing beliau berjalan kaki dari Kota Kudus ke Muria, padahal jaraknya 18 km.

Secara khusus, Raden Asnawi mempunyai pengajian rutin Tafsir Jalalain saat bulan Ramadlan di pesantren Bendan Kudus, hataman kitab Bidayatul Hidayah dan Al-Hikam di Tajuk Makam Sunan Kudus, serta membaca kitab Hadist Bukhari setiap habis Subuh di Masjid Al-Aqsha Kauman Menara Kudus.

Keikhlasan dan kedalaman ilmu Raden Asnawi patut menjadi teladan generasi selanjutnya. Bagi masyarakat Kudus dan sekitarnya, Raden Asnawi hingga sekarang masih diingat melalui karya-karya yang terus dikaji. Seperti Shalawat Asnawiyyah, Soal Jawab Mu’taqad Seket, Fasholatan Kyai Asnawi (disusun KH. Minan Zuhri), Syi’ir Nasihat, Du’aul ‘Arusa’in, dan karya berupa syiir lainnya. Di banyak pesantren serta masjid Kota Kudus dan sekitarnya, karya Raden masih diajarkan hingga saat ini.

NU dan Nasionalisme

Kelahiran Nahdlatul Ulama (NU) tidak luput dari jasa Raden Asnawi. Pada tahun 1924 M, KH. Abdul Wahab Chasbullah Jombang sowan ke Kudus untuk menyampaikan gagasan organisasi yang menjadi benteng ahlu sunnah wal jamaah. Raden Asnawi setuju, kemudian bersama para Ulama lain hadir di Surabaya pada 16 Rajab 1344 H atau 31 Januari 1926 M mendeklarasikan jam’iyah Nahdlatul Ulama.

Pada masa-masa revolusi kemerdekaan terutama menjelang agresi pertama Belanda, Raden Asnawi mengadakan gerakan doa bersama dengan membaca shalawat Nariyah dan surat Al-Fil. Tidak sedikit prajurit-prajurit dari pasukan lasykar kemerdekaan sowan ke Kudus, meminta doa kepada Raden Asnawi sebelum berangkat ke medan perang melawan penjajah.

Duka mendalam bagi bangsa Indonesia ketika kabar wafatnya KHR. Asnawi disiarkan Radio Republik Indonesia (RRI) Pusat Jakarta. Bahwa, Raden Asnawi wafat pada Sabtu Kliwon 25 Jumadil Akhir 1378 H. bertepatan 26 Desember 1959 M. pukul 03.00 WIB dalam usia 98 tahun.

Raden Asnawi perumpamaan dari pribadi religius dan nasionalisme yang purna. Berjasa besar bagi penyebaran Islam dan kemerdekaan Indonesia. Ulama kharismatik dan salah satu pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi terbesar di dunia. Al Fatihah.

Penulis: H. R. Umar Faruq I NUBC