Airmata di Senja Mambaul Ulum
Senja yang mengintip di pucuk gunung Kawi itu terlihat melambai, membuat gerakan lembut menyejukkan mata, lanskap indah alam asri Pagelaran yang menenangkan hati. Setiap waktu ketika alam melukiskan sunset mempesonanya, Faris, pemuda berperawakan sedang begitu cekatan dengan rutinitasnya, sibuk dengan cucian menumpuk dari teman-teman santri yang lain.
Pondok Pesantren Mambaul Ulum yang terletak di pedesaan asri adalah semesta bagi Faris. Ia tumbuh sebagai remaja berkarakter kuat, dan sebatangkara sejak ditinggalkan oleh kedua orang tuanya akibat sakit, pesantren inilah yang menjadi tempatnya berteduh, bernaung, belajar, berjuang dan bertahan hidup.
Ia sadar, tanpa sanak saudara dan harta, satu-satunya modal yang ia miliki hanyalah bersemangat apapun keadaannya. Tekun dan ikhlas hatinya. Menjadi santri, adalah jalan yang ia pilih selesai Sekolah Dasar.
***
Salah satu saudara jauh dari sang ayah yang mengantarkan Faris ke pesantren, dengan suara bergetar seraya menepuk pundaknya, Pak Mahmud itu berkata sambil menitikkan air mata, “Yang kuat ya nak, aku Pak Demu, Pak De masih ada, kalau butuh apa-apa cari Pak De ya nak,” ucapnya seraya merangkul erat Faris.
Dari awal, Faris dipasrahkan untuk menjadi khodam di ndalem pengasuh. Karena tidak ada keluarga dekat, dan tidak ada kiriman dari rumah yang bisa diharapkan. Paling tidak, ia tidak usah memikirkan makan, karena bisa ikut ndalem Kiai.
Sebelum adzan Subuh berkumandang, suara gesekan sapu lidi di halaman ndalem Kiai Muhammad sudah terdengar. Tugasnya dimulai dari menyapu, menyiram bunga, menyiapkan air hangat untuk wudhu Kiai, hingga membersihkan ruang tamu tempat Kiai menerima tamu penting. Imbalannya sederhana, namun sangat berharga, jatah makan dari dapur Ibu Nyai.
“Kesejahteraan hatimu lebih penting dari kenyang perutmu, Ris. Jangan pernah merasa hina karena melayani. Justru, di sinilah letak berkah ilmu itu,” nasihat Kiai Muhammad yang selalu terngiang di hatinya.
***
Jasa Laundry Santri
Untuk kebutuhan yang lebih personal, seperti sabun, sikat gigi, atau pulpen serta syahriyah pondok, Faris harus mandiri, ia tidak berani dan malu ketika meminta kepada Kiai. Di tengah padatnya jadwal mengaji, ia membuka “Jasa Laundry Santri Faris” di asramanya.
Para santri yang malas mengucek cucian pakaiannya atau punya uang saku lebih, menjadi pelanggannya. Di sore hari, setelah shalat Ashar, Faris akan duduk di samping kamar mandi umum, tangannya cekatan mengucek kain sarung, baju koko, dan peci yang menumpuk.
“Kang Faris, tolong ya, punya saya jangan sampai ketukar,” pinta seorang santri.
“Siap, Dek. Sudah dicatat semua. Dijamin harum dan rapi,” jawab Faris, tersenyum ramah.
Setiap lembar uang seribu dan dua ribu rupiah yang ia terima, ia masukkan ke dalam kaleng bekas biskuit. Uang itulah yang ia gunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari dan perlengkapan sekolahnya.
Faris kerap menerima upah nasi bungkus dengan lauk seadanya ketika mencucikan pakaian. Ia tetap tersenyum senang, karena ia bisa mengganjal perut, karena Faris kalau di ndalem hanya makan sekali saja, sarapan pagi. Ia merasa malu kalau nantinya menjadi beban dapur Kiai.
***
Air Mata di Malam-Malam Panjang nan Sunyi
Lima tahun berlalu, Faris tetap dengan rutinitasnya, menjadi santri cekatan di ndalem membantu semua kebutuhan Kiai dan keluarga, di samping ia tetap dengan “usaha” mandirinya, laudry santri untuk bisa bertahan di pondok.
Beratnya perjuangan Faris justru tidak diketahui teman-temannya, karena ia dikenal sebagai pribadi yang murah senyum, malah disukai teman-temannya karena punya sifat ceria dan selalu riang gembira di pesantren. Perjuangannya bertahan di pondok dengan usaha yang tidak mudah, tertutupi dengan karakter kuat dan wajah yang selalu berseri.
Walaupun, di banyak malam panjangnya, ketika ia sendiri dalam sunyi, Faris kerap melilitkan kaos lusuhnya ke perut untuk menahan rasa lapar, dan sorban putih pemberian Kiai Muhammad basah dengan air mata.
Ketika masuk di Madrasah Aliyah, membeli kitab-kitab kuning yang tebal dan buku pelajaran lain adalah tantangan terbesar Faris. Sedih menusuk hatinya, tapi ia tetap tegar dan untuk mengatasi hal ini, ia memberanikan diri untuk menaikkan standar jasanya: “Laundry Ekspress 24 Jam”.
“Kalau cuma cuci biasa, bayarannya beda. Kalau mau besok pagi sudah kering dan rapi, harganya naik sedikit. Itu buat beli kitab,” jelas Faris jujur kepada para pelanggannya.
Para santri memakluminya. Mereka tahu, uang yang mereka bayarkan digunakan Faris untuk bertahan di pesantren.
***
Meskipun lelah menjadi khodam di ndalem dan bekerja keras mencuci pakaian para santri, Faris tidak pernah mengurangi jatah belajarnya. Ketika santri lain tidur setelah ngaji malam, Faris akan menyalakan lampu minyak kecil di pojok asrama. Ia mengulang pelajaran Fathul Qarib tentang fikih, atau menelaah Jauharul Maknun tentang balaghah (sastra Arab), serta pelajaran lainnya.
Ia juga dikenal pribadi yang istiqamah. Di saat hari Jum’at libur sekolah, dan santri yang lain sibuk bermain pingpong atau membeli jajan di kantin, Faris duduk di pojok mushalla pondok, sendiri, hening, murajaah Al-Qur’an yang akan disetorkan kepada Gus Fuad nanti.
Faris memilih untuk menghafalkan Al-Qur’an awalnya termotivasi dengan dawuh dari Kiai Muhammad ketika ngaji sore di mushalla pondok, bahwa siapapun yang menjadi Hamilul Qur’an kedua orang tuanya di akhirat kelak akan diberikan mahkota dan pakaian kemuliaan yang tiada bandingannya di dunia.
Menjadi Hafidzul Qur’an adalah jalan yang dipilih Faris untuk birrul walidain kepada kedua orang tuanya yang sudah meninggal.
***
Prestasinya di sekolah juga sungguh mencolok. Ia selalu meraih peringkat pertama di kelas, dengan nilai sempurna di semua pelajaran. Di kejuaraan pesantren tingkat kabupaten dan provinsi, Faris kerap menjadi delegasi mewakili Mambaul Ulum.
Bahkan, bila ada perlombaan Musabaqah Qira’atil Kutub (MQK) atau Lomba Baca Kitab Kuning tingkat Provinsi Jawa Timur, nama Faris selalu menjadi andalan Mambaul Ulum dan santri yang pertama disodorkan mewakili nama pesantren se Kabupaten Malang.
Gaya membacanya yang fasih, pemahamannya yang mendalam terhadap nahwu sharaf, setiap kalimat, serta argumentasinya yang kuat ketika ditanya, selalu memukau para dewan juri. Ia telah mengoleksi tiga piala emas MQK tingkat provinsi.
“Kang Faris itu otaknya sudah diisi nahwu dan sharaf sama malaikat,” seloroh teman-temannya sambil tertawa bangga. Satu Asrama Darut Tauhid itu bersorak dengan shalawat badar dan mengelu-elukan nama Faris yang mengangkat piala juara satu, ketika datang dari kejuaraan MQK tingkat provinsi.
***
Bisikan dari Pondok Putri
Kisah prestasi dan pribadi Faris tak hanya berputar di kalangan santri putra. Secara diam-diam, cerita tentang santri alim nan cerdas, bertahan di pondok dengan menjadi khodam, serta membuka usaha laundry di pondok, lebih lanjut, kecerdasan dan prestasi Faris menyebar hingga ke pondok putri.
Para santriwati, yang hanya bisa mendengar desas-desus tetang Faris mulai menaruh kagum. Mereka tidak hanya terpesona oleh prestasi, tapi juga oleh akhlak Faris. Sikapnya yang selalu menunduk, tenang, sederhana dan tidak pernah terdengar berbicara dengan lawan jenis.
Ning Hasna, putri tunggal Kiai Muhammad, yang mengajar tafsir dan hadits di pondok putri, sering mendengar selentingan nama Faris dari para santri putri.
“Ning, Kang Faris itu kalau baca kitab suaranya seperti air mengalir, bersih sekali,” celetuk salah satu santri.
“Dia itu rajinnya tidak main-main, Ning. Walaupun sibuk ngodam di ndalem, mencuci pakaian para santri, dia tetap paling siap dan terdepan saat ujian,” sahut yang lain menimpali.
Ning Hasna, seorang wanita cerdas lulusan Timur Tengah, memperhatikan Faris dari sudut pandang yang berbeda; kapasitas keilmuan.
Ia pernah mendengar sendiri bagaimana Faris dengan tenang menjawab pertanyaan Abahnya yang paling rumit saat di ruang tamu rumahnya. Ning Hasna juga tahu, bahwa, Faris kerap mengharumkan nama Mambaul Ulum di kejuaran-kejuaran luar pondok.
Lembut, rasa kagum itu mulai menusuk dengan pelan di lubuk hatinya.
***
Menjadi Asatidz dan Lamaran Sang Kiai
Beberapa minggu setelah Faris memenangkan piala MQK keempatnya, Kiai Muhammad memanggilnya ke ruang tamu ndalem. Faris membersihkan dirinya dan bergegas menghadap, membayangkan Kiai akan memberinya tugas baru, atau ada hadiah.
Kiai Muhammad, duduk di kursi rotan dengan senyum hangat, menyuruh Faris duduk di hadapannya.
“Mendekat nak…” Faris pelan mendekat, ia tidak berani mengangkat wajahnya, menunduk penuh takdzim.
“Faris,” Kiai kharismatik memulai, suaranya tenang dan penuh wibawa. “Kamu sudah di sini bertahun-tahun. Kamu tumbuh dari anak kecil yang hanya bisa menyapu, sekarang menjadi seorang alim yang membanggakan pondok ini.”
Faris menundukkan kepala. “Alhamdulillah, Kiai. Semua berkat bimbingan Kiai dan Ibu Nyai,” pelan dan bergetar, memorinya kembali kepada masa awal mondok yang berat, sendiri, tanpa saudara dan orang tua. Tes, air matanya tidak bisa ditahan, berada di depan sosok yang selama ini sudah dianggap orang tuanya.
“Pondok Mambaul Ulum ini masih banyak yang harus dikembangkan, nak. Saya butuh banyak tangan untuk membantu. Tidak hanya yang berilmu, tapi juga yang berakhlak dan istiqamah. Abah juga sudah berusia lanjut, terbatas…” lanjut Kiai. Faris hanya diam menunduk, ia sesekali menyeka matanya yang basah.
“Saya ingin kamu mulai bulan depan, menjadi Ustadz Pembantu di Madrasah Aliyah. Kamu akan mengajar Kitab Dahlan Alfiyah, mata pelajaran Nahwu Sharaf yang kamu kuasai untuk kelas akhir,” ucap Kiai Muhammad. Hati Faris bergetar hebat. Ini adalah pengangkatan tertinggi yang bisa didapatkan oleh seorang santri. Ia hanya bisa terpaku, rasa senang memenuhi hatinya.
Kiai Muhammad menepuk pundak Faris yang tidak bisa menahan lagi tangisnya, ia sesunggukan di depan Kiainya.
“Pengabdianmu di ndalem sudah cukup, waktunya sekarang untuk anfa’ linnas… nasyrul ilmi, memanfaatkan ilmumu…” Faris tetap menunduk dalam tangisnya yang tidak bersuara.
***
“Lalu, ada hal lain. Hal yang lebih penting dari menjadi guru atau Ustadz,” ucap Kiai Muhammad setelah sekian lama hening.
“Faris, aku telah melihat seluruh perjuanganmu, bertahan di pondok dengan menjadi membantu mencuci pakaian para santri. Juga, prestasi luar biasamu yang sering membanggakan pondok. Aku yakin, kamu adalah bibit terbaik…”
Hening…
“Saya telah berembuk dengan Ibu Nyai dan Hasna. Setelah beberapa hari, kami memutuskan… kami ingin kamu menjadi menantuku…”
Ruangan itu mendadak sunyi. Faris merasa seluruh darahnya berhenti mengalir. Matanya berkaca-kaca, entah apa yang menyeruak hebat di dadanya. Sedangkan di balik tirai biru tosca pemisah ruang tamu, ada sosok wanita yang menunduk sambil memegang dadanya yang mendadak berisik dan bergetar.
Hening…
Baik Faris dan sosok di balik tirai itu, keduanya hanya bisa menunduk, bukan karena sedih, melainkan karena rasa yang membuncah, hati mereka penuh. Sulit diungkapkan. Tiba-tiba saja waktu seakan berhenti. Pandangan mereka berdua hanya terpaku pada bumi yang dipijak.
Tes… tes… pipi Ning Hasna basah dengan haru. Rasa kagum yang lamat-lamat terdengar di hatinya, kini semakin jelas, menjalar lembut di sudut hati, desiran itu kini menjadi angin yang menyejukkan lubuknya. Sosok yang sering disebut dengan bangga di Mambaul Ulum itu begitu dekat dengannya, namanya kini sudah menggetarkan dinding-dinding hatinya.
Mata Ning Hasna basah dan terpenjam, sesaat tergambar sesosok tenang dengan senyum mempesona membawa lentera, hatinya sekarang penuh dengan cahaya.
Sedangkan Faris masih membeku tidak percaya dengan apa yang dikatakan Kiainya, seorang yatim piatu yang hanya bertahan di pondok dengan upah mencuci tak seberapa, kini, derajatnya seperti diangkat sangat tinggi.
“Dengan menjadi bagian dari keluarga, kamu akan bisa fokus mengembangkan dan meneruskan perjuangan pondok ini. Kamu dan Hasna saya harap bisa memajukan pesantren peninggalan dari para Masyayikh terdahulu…” kata Kiai Muhammad lembut. Setelah sekian lama ruangan itu hening.
Faris tidak bisa berkata-kata. Ia hanya mampu bersimpuh di kaki Kiai Muhammad, mencium tangan beliau dengan air mata syukur dan kebahagiaan.
“Ndereaken dawuh Kiai…” pelan dengan suara haru Faris berkata.
***
Di antara hamparan hijau padi Desa Banjarejo Kecamatan Pagelaran yang melambai, di pematang sawah yang membentang luas menyambut senja, sepasang suami istri menemukan kedamaian yang mendalam. Langit di ufuk barat perlahan berubah menjadi palet warna oranye, merah muda, dan ungu, melukis pemandangan yang magis di balik siluet gunung Kawi yang gagah.
Sang istri, dengan hijab cokelatnya yang lembut, menyandarkan kepalanya mesra di pundak suaminya. Matanya terpejam, menikmati setiap detik kehangatan dan ketenangan yang meresap ke dalam jiwanya. Jemarinya melingkari lengan sang suami, sebuah isyarat cinta yang hening namun penuh makna. Di pundak itulah ia menemukan perlindungan, sandaran hati yang menenangkan.
Sementara itu, sang suami memegang sebuah mushaf Al-Qur’an yang terbuka. Bibirnya bergerak perlahan, melantunkan ayat-ayat suci dengan suara yang tenang dan lembut, seolah bisikan syahdu yang hanya ingin didengar oleh semesta dan istrinya. Wajahnya memancarkan keteduhan, matanya memandang jauh ke depan, seolah meresapi setiap makna firman Tuhan yang ia murajaah. Meski sedang fokus pada lantunan ayat, tangannya dengan erat membalas pelukan sang istri, meyakinkan bahwa keberadaannya begitu berharga.
Kamis 6 Safar 1437 menjadi monumen ikatan kasih antara Gus Faris dan Ning Hasna. Perjuangan Faris yang kini dipanggil Gus bertahan di pondok, dan keuletan Ning Hasna menghabiskan pendidikan agama di Mesir dan Yaman, menyatukan jalan masa depan mereka. Menghabiskan waktu berkhidmah di jalur keilmuan dan taqarrub ilallah.
Momen kasih mereka adalah perpaduan sempurna antara keindahan duniawi dan kesempurnaan ukhrawi. Di tengah keindahan alam yang syahdu, mereka membangun mahligai cinta yang berlandaskan iman, merajut kebersamaan dalam ketenangan jiwa dan kedekatan kepada Sang Pencipta. Sebuah gambaran harmoni yang tak terlukiskan, di mana cinta tak hanya sekadar perasaan, tapi juga jalan menuju keberkahan.
Wallahu A’lam…
Banjarejo, Pagelaran, 28/11/2025
H. R. Umar Faruq I Pemred NUBC
