Femisida, Kejahatan yang Tidak Boleh Dibiarkan
Femisida, istilah yang kini semakin sering kita dengar, merujuk pada pembunuhan yang didorong oleh identitas gender korban sebagai perempuan. Kejahatan ini bukan hanya sekadar angka di statistik; di balik setiap kasus femisida, ada cerita pilu tentang kehidupan yang terenggut dengan cara yang paling brutal.
Komnas Perempuan mencatat bahwa, minimnya laporan femisida seringkali disebabkan oleh anggapan keliru bahwa tidak ada lagi yang perlu dianalisis ketika korban sudah tiada. Namun, hak atas keadilan, martabat, dan kebenaran tidak berakhir dengan hilangnya nyawa seorang perempuan.
Berdasarkan data global, sekitar 48.800 perempuan dan anak perempuan dibunuh setiap tahunnya oleh pasangan intim atau anggota keluarga mereka sendiri. Ini artinya, lebih dari 133 perempuan tewas setiap hari di seluruh dunia oleh orang-orang yang seharusnya melindungi mereka.
Di Indonesia, kita masih dihadapkan pada kenyataan pahit ketika kasus-kasus femisida kerap mencuat ke permukaan, seperti pembunuhan seorang penjual gorengan di Sumatra Barat yang diperkosa dan dibunuh oleh orang yang dikenal dekat dengan korban, atau pembunuhan siswi SMP di Palembang oleh empat remaja yang terpengaruh oleh konten pornografi. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual dapat mendorong kejahatan yang lebih ekstrem, dan seringkali pelakunya adalah orang-orang yang memiliki hubungan dengan korban, yang mengisyaratkan adanya relasi kuasa yang timpang.
Penyebab utama dari femisida adalah sistem patriarki yang mengakar dalam masyarakat kita. Dalam banyak kasus, perempuan menjadi korban kekerasan fisik, emosional, dan seksual, sering kali di tangan orang-orang terdekat mereka. Stereotip gender yang menempatkan perempuan sebagai makhluk yang lebih lemah dan tak berdaya memperburuk keadaan, memungkinkan pelaku untuk bertindak sewenang-wenang. Hal ini harus segera dihentikan!
Kita perlu langkah-langkah konkret untuk mengakhiri femisida. Pertama, hukum yang lebih ketat harus diberlakukan untuk melindungi perempuan dari kekerasan berbasis gender. Undang-undang khusus yang menargetkan pelaku kekerasan berbasis gender dan menghukum mereka dengan tegas sangatlah diperlukan. Kedua, program rehabilitasi bagi pelaku kekerasan perlu dikembangkan untuk mengubah pola pikir yang mendasari tindakan kekerasan. Sering kali, hukuman saja tidak cukup untuk mengatasi akar masalah ini.
Selain itu, edukasi dan kampanye sosial sangat penting untuk mengubah budaya yang membenarkan kekerasan terhadap perempuan. Masyarakat harus menyadari bahwa femisida bukanlah insiden yang tidak terhindarkan, melainkan akibat dari lemahnya perlindungan hukum dan budaya kekerasan berbasis gender.
Melalui langkah-langkah ini, kita bisa menciptakan ruang yang aman bagi perempuan dan mencegah terjadinya kejahatan femisida. Mari kita bersatu dan bersama-sama menghentikan kekerasan terhadap perempuan! Kesadaran kita hari ini adalah harapan untuk masa depan yang lebih baik.
Laporan: Mutiara Firdhausy An-Nawawi I NUBC