Katanya Media Level Nasional, Tapi Kok Gagal Paham tentang Pesantren?

Keputusan tegas yang diambil oleh Keluarga Besar Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Babat untuk memboikot tayangan TRANS7 adalah sebuah sikap moral yang patut mendapat perhatian serius. Ini bukan sekadar reaksi emosional, melainkan sebuah manifestasi dari tanggung jawab untuk menjaga kehormatan —marwah— para Masyayikh, santri, dan lembaga pesantren secara keseluruhan.
Kita harus melihat inti persoalannya: adanya “framing sesat dan keji” yang ditujukan pada figur sentral dan lembaga pendidikan agama, khususnya terhadap Al Mukarram KH. Anwar Mansur dan Pondok Pesantren Lirboyo. Pesantren adalah benteng moral bangsa, tempat para ulama mencetak generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berakhlak mulia. Ketika media, yang seharusnya menjadi alat pencerdasan publik, justru “berubah” menjadi corong munculnya fitnah, kebencian, atau narasi provokatif, maka sikap kolektif untuk menolak adalah sebuah keharusan.
Beralih ke Media Beretika
Himbauan yang dikeluarkan oleh RMI PCNU Babat —mulai dari berhenti menonton, tidak menyebarkan konten, hingga beralih ke media yang lebih beradab— adalah langkah konkret dan terukur. Ini adalah ikhtiar nyata untuk memberikan pelajaran penting kepada industri media: bahwa kebebasan pers tidak boleh melanggar batas-batas etika, apalagi merendahkan simbol-simbol kearifan lokal dan keagamaan yang dihormati jutaan umat.
Boikot ini bukan hanya tentang menolak satu stasiun televisi, tetapi tentang muhasabah (intropeksi) kolektif bagi seluruh warga nahdliyin dan masyarakat pada umumnya. Kita diajak untuk menjadi konsumen media yang lebih cerdas dan bertanggung jawab, selektif dalam memilih sumber informasi. Kita harus menuntut media agar berfungsi sesuai peran sejatinya: sebagai alat yang mendidik, menghormati nilai-nilai luhur, dan menjaga kerukunan, bukan sebaliknya.
Gagal Paham Tentang Pesantren
Ala kulli hal, ketika insan pesantren berduka akibat musibah yang terjadi di Ponpes Al Khoziny Buduran, Sidoarjo. Muncul banyak opini dari “pihak luar pesantren” yang memframing secara dramatis bahwa di pesantren ada praktik perbudakan, feodalisme dan hal negatif lainnya.
Padahal narasi mereka sangat lemah tanpa dasar keilmuan, serta keluar dari pola pikir yang dangkal. Sama sekali, framing negatif kepada pesantren tanpa menjelaskan konteks budaya, adab, keikhlasan atau nilai-nilai kultur yang menjadi tradisi di pesantren.
Parahnya lagi, para pengkritik pesantren berikut medianya sama sekali tidak menggambarkan secara utuh tentang pesantren, apalagi tidak memberi ruang klarifikasi dari pihak pesantren. Banyak kritik yang muncul justru muncuk dari pemikiran yang tidak ilmiah dan sempit, tidak terstuktur, serampangan, non etika, dan terkesan dipaksakan.
Katanya Media Level Nasional?
Puncaknya, ketika Trans7 menayangkan program “Xpose Uncensored” yang menyorot pondok pesantren dan kiai. Program yang tayang pada Senin, 13 Oktober 2025 itu memicu kontroversi dan menciptakan kegaduhan di media sosial. Tayangan tersebut menampilkan sosok Pendiri Pesantren Hidayatul Mubtadiat Kompleks Lirboyo KH. Anwar Manshur secara tidak proporsional dengan narasi bernada negatif dan bermegah-megahan.
Ah, begitukah “wajah” dari Trans7 yang katanya media level nasional?. Begitukah gaya atau kemampuan literasi yang ada di Trans7?. Demikiankah orang-orang yang berlabel jurnalis yang level nasional?. Begitu lemahkah literasi di negara ini?. Atau, ada agenda besar untuk menghancurkan pesantren, santri, Kiai, dan kemudian Islam?. Masya Allah sekali…
Wa akhiran, sekali lagi, sikap RMI PCNU Babat adalah pengingat bahwa marwah ulama tidak bisa ditawar. Ketika martabat guru bangsa dilecehkan, seluruh santri dan jamaah memiliki kewajiban moral untuk bersuara dan bertindak. Semoga maklumat ini menjadi tonggak kesadaran bersama agar kita senantiasa memuliakan dan melindungi para pewaris Nabi.
H. R. Umar Faruq
Sekretaris RMI PCNU Babat